KERANGKA HUKUM DIGITAL SIGNATURE
DALAM E-COMMERCE
A.
PENGERTIAN
E-COMMERCE
Electronic
Commerce (Perniagaan Elektronik), sebagai bagian dari Electronic Business
(bisnis yang dilakukan dengan menggunakan electronic transmission, oleh para
ahli dan pelaku bisnis dicoba dirumuskan definisinya dari terminologi
E-Commerce (Perniagaan Elektronik). Secara umum e-commerce dapat didefinisikan
sebagai segala bentuk transaksi perdagangan/perniagaan barang atau jasa (trade
of goods and service) dengan menggunakan media elektronik. Jelas, selain dari
yang telah disebutkan di atas, bahwa kegiatan perniagaan tersebut merupakan
bagian dari kegiatan bisnis. Kesimpulan: "e-commerce is a part of
e-business".
Perkembangan perdagangan elektronik (e-commerce)
di dunia dimulai dari kemunculan internet. Teknologi internet mempunyai efek
besar pada perdagangan global dalam hal layanan (service). Perdagangan
dunia yang meliputi perangkat lunak komputer, produk hiburan (seperti film,
video, permainan, rekaman suara), layanan informasi (seperti database,
koran-koran yang online), informasi teknik, lisensi produk, layanan finansial,
dan layanan tenaga ahli (seperti konsultasi bisnis atau teknik, jasa akuntan,
rancangan arsitektur, nasihat hukum, layanan perjalanan, dll) tumbuh secara
cepat dalam sepuluh tahun terakhir ini. Perkembangan pemakaian internet
menciptakan paradigma baru dalam dunia bisnis berupa ‘digital marketing’
melalui kemunculan e-commerce.
E-commerce merupakan konsep dari pemasaran
global di dunia online yang digambarkan sebagai proses penyebaran,
pembelian, penjualan, pemasaran barang dan
jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-Commerce
dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem
manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.
E-commerce merupakan
bagian dari e-business, di mana cakupan e-business lebih luas,
tidak hanya sekedar perniagaan tetapi mencakup juga pengkolaborasian mitra
bisnis, pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan, dll. Selain teknologi jaringan
www, e-commerce juga memerlukan teknologi database, e-mail, dan
bentuk teknologi non komputer yang lain seperti halnya sistem pengiriman
barang, dan alat pembayaran untuk e-commerce ini.
B.
PENGERTIAN
DIGITAL SIGNATURE
Digital
Signature adalah salah satu teknologi yang digunakan untuk meningkatkan
keamanan jaringan. Digital Signature memiliki fungsi sebagai penanda pada data
yang memastikan bahwa data tersebut adalah data yang sebenarnya (tidak ada yang
berubah). Dengan begitu, Digital Signature dapat memenuhi setidaknya dua syarat
keamanan jaringan, yaitu Authenticity dan Nonrepudiation.
Digital
signature merupakan sistem keamanan kriptografi simetris (symetric
crypthography/secret key crypthography) atau public key cryptography system
yang dikenal sebagai kriptografi simetris, menggunakan kunci yang sama dalam
melakukan enkripsi dan dekripsi terhadap suatu pesan (message), disini pengirim
dan penerima menggunakan kunci yang sama sehingga mereka harus menjaga
kerahasian (secret) terhadap kunci tersebut.
Berdasarkan
pada Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, Tanda Tangan Elektronik
adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang
dilekatkan,terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang
digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
Tujuan dari suatu tanda
tangan dalam suatu dokumen elektronik adalah sebagai berikut :
a.
untuk memastikan otensitas dari dokumen tersebut;
b. untuk
menerima/menyetujui secara menyakinkan isi dari sebuah tulisan.
Manfaat
Digital Signature
a. Authenticity
(Ensured)
Dengan memberikan digital signature pada data elektronik yang
dikirimkan maka akan dapat ditunjukkan darimana data elektronis tersebut
sesungguhnya berasal. Integritas pesan tersebut akan terjamin karena keberadaan
dari Digital Certificate yang diperoleh atas dasar aplikasi kepada Cerfication
Authority oleh user/subscriber. digital certificate berisi informasi mengenai
pengguna yaitu identitas, kewenangan, kedudukan hokum serta status dari user.
Pentingnya kepercayaan yang tinggi
dalam otentisitas pengirim ini terutama jelas dalam konteks keuangan. Misalnya,
kantor cabang bank mengirimkan instruksi ke kantor pusat meminta perubahan
saldo account. Apabila kantor pusat tidak yakin bahwa pesan tersebut
benar-benar dikirim dari sumber resmi, bertindak atas permintaan semacam itu
bisa menjadi kesalahan besar.
b. Integrity
Integritas/integrity yaitu jika seorang penerima pesan/data
merasa yakin bahwa pesan/data tersebut pernah dimodifikasi atau diubah selama
proses pengiriman atau penyimpanan.
Penggunaan digital signature yang diaplikasikan pada pesan/data
elektronik yang dikirimkan dapat menjamin bahwa pesan/data elektronik tersebut
tidak mengalami suatu perubahan atau modifikasi oleh pihak yang tidak
berwenang.
Dalam
skenario banyak, pengirim dan penerima pesan mungkin memiliki kebutuhan untuk
keyakinan bahwa pesan belum diubah selama transmisi. Meskipun menyembunyikan
enkripsi isi pesan, dimungkinkan untuk mengubah sebuah pesan terenkripsi
tanpa memahaminya. Namun, jika pesan secara digital ditandatangani, setiap
perubahan dalam pesan setelah tanda tangan akan membatalkan tanda tangannya.
Selain itu, tidak ada cara yang efisien untuk memodifikasi pesan dan tanda
tangan untuk menghasilkan pesan baru dengan tanda tangan yang sah, karena ini
masih dianggap layak oleh sebagian besar komputasi fungsi hash kriptografi.
c. Non-Repudiation (Tidak dapat disangkal
keberadaannya)
Non repudiation adalah hal yang sangat penting bagi e-commerce
apabila suatu transaksi dilakukan melalui suatu jaringan internet, kontrak
elektronik (electronic contracts), ataupun transaksi pembayaran. merupakan
aspek penting dari tanda tangan digital. Dengan properti ini suatu entitas yang
telah menandatangani beberapa informasi tidak dapat di lain waktu menyangkal
memiliki menandatanganinya. Demikian pula, akses ke kunci publik hanya tidak
memungkinkan pihak penipuan untuk palsu tanda tangan valid.
d. Confidentiality
Pesan dalam bentuk data elektronik yang dikirimkan bersifat
rahasia/confidential, sehingga tidak semua orang dapat mengetahui isi data
elektronik yang telah di-sign dan dimasukkan dalam digital envelope. Keberadaan
digital envelope yang termasuk bagian yang integral dari digital signature
menyebabkan suatu pesan yang telah dienkripsi hanya dapat dibuka oleh orang
yang berhak. Tingkat kerahasiaan dari suatu pesan yang telah dienkripsi ini,
tergantung dari panjang kunci/key yang dipakai untuk melakukan enkripsi.
C.
CARA
KERJA DIGITAL SIGNATURE
Cara
kerja Digital Signature adalah dengan memanfaatkan dua buah kunci, yaitu kunci
publik dan kunci privat. Kunci publik digunakan untuk mengenkripsi data,
sedangkan kunci privat digunakan untuk mendekripsi data. Pertama, dokumen
di-hash dan menghasilkan Message Digest. Kemudian, Message Digest dienkripsi
oleh kunci publik menjadi Digital Signature.
Untuk
membuka Digital Signature tersebut diperlukan kunci privat. Bila data telah
diubah oleh pihak luar, maka Digital Signature juga ikut berubah sehingga kunci
privat yang ada tidak akan bisa membukanya. Ini merupakan salah satu syarat
keaman jaringan, yaitu Authenticity. Artinya adalah, keaslian data dapat
terjamin dari perubahan-perubahan yang dilakukan pihak luar.
Dengan
cara yang sama, pengirim data tidak dapat menyangkal data yang telah
dikirimkannya. Bila Digital Signature cocok dengan kunci privat yang dipegang
oleh penerima data, maka dapat dipastikan bahwa pengirim adalah pemegang kunci
privat yang sama.
D.
RUANG
LINGKUP DIGITAL SIGNATURE
Setiap
verifikasi dan autentifikasi terhadap informasi elektronik yang diselenggarakan
oleh pelaku teknologi informasi, baik di Indonesia maupun antara Indonesia
dengan luar negeri, dimana digital signature berlaku terhadap segala jenis
transaksi yang berkaitan dengan kegiatan usaha, hubungan produsen dan konsumen, atau hubungan perdagangan antara
beberapa pihak.
Digital
signature dalam UU ITE memperbolehkan suatu autoritas yang berwenang melakukan
autentifikasi dan verifikasi terhadap dokumen elektronik yang ditanda tangani
secara elektronik.
Pelaksanaan
informasi elektronik, dokumen elektronik, dan autentifikasi serta verifikasi
melalui tanda tangan elektronik tidak dapat dilakukan terhadap suatu kontrak
yang diharuskan dibuat dalam bentuk tertulis.
Pasal
5 ayat (4) dan Pasal 6 UU ITE mengecualikan informasi, dokumen, dan tanda
tangan yang tidak dapat dibuat secara elektronik, yakni terhadap :
a. Surat
yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis
b. Surat
beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta
notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta
Ketentuan
lain yang menyaratkan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggugjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan.
E.
KONTRAK
PERDAGANGAN
Kontrak
merupakan suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, sedangkan perjanjian
merupakan semua bentuk hubungan antara dua pihak dimana pihak yang satu
berjanji kepada pihak yang lain untuk melakukan sesuatu hal.
Hal
ini memberikan arti bahwa kontrak dapat disamakan dengan perjanjian. Perjanjian terjadi antara kedua belah pihak yang saling
berjanji, kemudian timbul kesepakatan yang mengakibatkan adanya suatu
perikatan diantara kedua belah pihak tersebut.
Menurut
UU No. 11 Tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi elektronik bahwa suatu
transaksi perdagangan elektronik (e-commerce) dianggap sah apabila
menggunakan sistem elektronik sesuai peraturan perundangan yang berlaku dan
informasi elektronik tersebut dalam bentuk tertulis atau asli dimana informasi
yang tercantum didalamnya dapat dijamin keutuhannya, dipertanggungjawabkan,
diakses, ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. Sistem tersebut juga
menggunakan sistem elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi.
Syarat
sah sebuah kontrak sesuai dengan KUHPerdata pasal 1320 yaitu :
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu
hal tertentu
4. Suatu
sebab yang halal
Tidak
terpenuhinya salah satu persyaratan di atas dapat menyebabkan dibatalkannya
kontrak. Bisa dikatakan batal demi hukum jika obyek dari kontrak tidak ada dan
juga penyebab kontrak tersebut ternyata adalah merupakan sesuatu yang tidak
halal. Pelaksanaan suatu kontrak dalam bentuk elektronik, harus tetap
didasarkan pada hukum kontrak yang berlaku, sehingga tidak semua dokumen, tanda
tangan, dan informasi harus dibuat secara elektronik. Ketentuan-ketentuan dalam
hukum kontrak yang mewajibkan dibuat secara konvensional (tertulis), maka
mengecualikan ketentuan dalam UU ITE.
Suatu
tanda tangan elektronik dianggap sah bila dibuat hanya oleh subjek yang
berwenang terhadap informasi elektronik yang disertifikasi melalui sertifikat
elektronik. Subjek hukum yang tidak berwenang terhadap dokumen elektronik tidak
dapat melakukan tanda tangan elektronik.
Sehingga, orang atau badan hukum yang menerima tanda tangan elektronik
harus memastikan bahwa tanda tangan elektronik tersebut memang dibuat oleh
subjek hukum yang memiliki kewenangan.
F.
KEABSAHAN
KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UNCITRAL MODEL LAW ON ELECTRONIC COMMERCE
UNCITRAL
dan konvensi tidak mensyaratkan suatu bentuk tertentu untuk suatu kontrak,
hanya saja untuk mengantisipasi kemungkinan tuntutan dari negara anggota
tentang persyaratan sebuah kontrak, maka UNCITRAL model law on electronic
memberikan syarat minimal sebuah kontrak elektronik, yaitu :
1. Harus
tertulis
2. Harus
ada tanda tangan
3. Bentuk
asli kontrak
Prinsip
UNCITRAL
1. Segala
informasi elektronik dalam bentu data elektronikl dapat dikatakan memiliki
akibat hukum, keabsahan ataupun kekuatan hukum.
2. Hukum
mengharuskan adanya suatu informasi dalam bentuk tertulis, maka suatu data
elektronik dapat memnuhi syarat untuk itu.
3. Dalam
hal tanda tangan, suatu tanda tangan elektronik merupakan tanda tangan yang
sah.
G.
PERMASALAHAN
E-COMMERCE
Dalam tulisannya Perlindungan Konsumen dalam
E-Commerce, Esther Dwi Magfirah mengidentifikasi beberapa permasalahan
hukum yang dapat dihadapi konsumen dalam transaksi e-commerce.
Permasalahan tersebut adalah:
a.
otentikasi subyek hukum yang membuat
transaksi melalui internet;
b.
saat perjanjian berlaku dan memiliki
kekuatan mengikat secara hukum ;
c.
obyek transaksi yang diperjualbelikan;
d.
mekanisme peralihan hak;
e.
hubungan hukum dan pertanggungjawaban
para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para
pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan
lain-lain;
f.
legalitas dokumen catatan elektronik
serta tanda tanan digital sebagai alat bukti.
g.
mekanisme penyelesaian sengketa; pilihan
hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa.
Permasalahan
Yang Sering Terjadi
Permasalahan
pertama adalah mengenai keaslian data massage dan tanda tangan
elektronik. Permasalahan mengenai authenticity yang timbul adalah apakah
pengiriman data massage baik dari konsumen atau server adalah benar seperti
yang diduga atau diharapkan? Biasanya peralatan yang digunakan untuk
memverifikasi identitas users adalah password. Namun password-pun
dapat diduga atau ditipu dan diintersepsi, sehingga keaslian atau otentisitas
dari data massage tidak dapat lagi dijamin.
Sebagai solusi,
selama ini dimunculkan alat atau teknik yang dianggap mampu memberikan
otentikasi yaitu kriptografi (cryptography) dan tanda tangan elektronik
(electronic/digital signature).
Kriptografi adalah sebuah teknik pengamanan dan
sekaligus pengotentikan data yang terdiri dari dua proses yaitu enskripsi dan
deskripsi. Enskripsi adalah sebuah proses yang menjadikan teks informasi tidak
terbaca oleh pembaca yang tidak berwenang karena telah dikonversi ke dalam
bahasa sandi atau kode, sedangkan deskripsi adalah proses kebalikan dari
enskripsi, yaitu menjadikan informasi yang asalnya telah dienskripsi untuk
dibaca kembali oleh pembaca yang memiliki wewenang.
Tanda tangan elektronik menjadi permasalahan
substansial sehubungan dengan otentikasi. Tanda tangan elektronik atau digital
tidak hanya digunakan untuk memverifikasi keotentikan data massage tapi
digunakan pula untuk meneliti identitas pengirim data, sehingga seseorang bisa
yakin bahwa orang yang mengirim data massage benar-benar memiliki
wewenang. Yang menjadi perdebatan adalah berkenaan dengan keabsahan
sebuah kontrak on-line yang menggunakan digital signature. Apakah
digital signature ini dapat menggantikan posisi tanda tangan konvensional
karena keduanya memiliki bentuk fisik yang berbeda? Dengan demikian harus
dilihat kembali apakah definisi dari tanda tangan itu, karena bagi ahli yang
menganut madzhab skriptualis, yang menekankan pada bunyi teks hukum secara
tekstual, maka keabsahan digital signature ini akan dianggap tidak sah.
Secara
internasional UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce dan ETA
Singapore telah menerima tanda tangan elektronik sebagai tanda tangan yang
valid. Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya usaha ke arah ini belum
menampakkan perkembangan. Secara khusus kita belum mengadopsi pengaturan ini
dan belum membentuk legislasi atau aturan khusus mengenai hal ini.
Permasalahan
kedua adalah masalah keabsahan (validity). Sebagaimana dalam
perdagangan konvensional, transaksi e-commerce menimbulkan perikatan
antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi.
Pada
umumnya asas yang digunakan untuk transaksi dagang atau jual beli adalah asas
konsensualisme, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian jual beli
sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya ‘sepakat’ mengenai barang dan
harga. Asas ini juga dianut dalam hukum perdata di Indonesia yang diatur dalam
Pasal 1458 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek).
Selain
itu ada syarat lain yang juga harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian.
Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian di Indonesia diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak, dilakukan oleh orang
yang cakap hukum, adanya hal atau obyek tertentu dan adanya suatu causa atau
sebab yang halal.
Dalam hukum,
keabsahan suatu kontrak sangat tergantung pada pemenuhan syarat-syarat dalam
suatu kontrak. Apabila syarat-syarat kontrak telah terpenuhi, terutama adanya
kesepakatan atau persetujuan antara para pihak, maka kontrak dinyatakan
terjadi. Dalam transaksi e-commerce, terjadinya kesepakatan dan
perjanjian sangat erat hubungannya dengan otentisitas dari data massage,
sehingga timbul permasalahan apakah wujud data yang tidak tertulis di atas
kertas –melainkan dalam wujud data record yang abstrak– serta tanda tangan
elektronik dapat diterima sebagai sesuatu yang sah?
Bagaimana
dengan kontrak on-line? Menurut para pemerhati e-commerce,
kondisi-kondisi hukum di atas juga berlaku pada kontrak on-line, hanya
saja dalam kontrak on-line digunakan piranti teknologi canggih dengan
berbagai macam variasinya.
Namun karena
sifatnya yang khas, masih ada beberapa hal yang dapat diperdebatkan, misalnya
mengenai kecakapan membuat perjanjian yang dalam hal ini oleh anak yang masih
di bawah umur dan juga mengenai causa yang halal. Dengan demikian hal yang
penting untuk kembali dilihat adalah mengenai digital signature untuk
mengetahui kompetensi baik penjual maupun pembeli.
Dengan pernyataan ini, walaupun masalah yang dihadapi
mungkin berbeda, ketentuan mengenai perjanjian jual beli yang diatur dalam
hukum Indonesia sebenarnya cukup memadai untuk hal ini, namun karena sifatnya
yang khas, masih ada beberapa hal yang dapat diperdebatkan, misalnya mengenai
kecakapan membuat perjanjian yang dalam hal ini oleh anak yang masih di bawah
umur dan juga mengenai causa yang halal. Dengan demikian hal yang penting untuk
kembali dilihat adalah mengenai digital signature untuk mengetahui
kompetensi baik penjual maupun pembeli.
Namun perlu pula dicermati bahwa sebenarnya
permasalahannya tidaklah sesederhana itu. E-commerce merupakan model
perjanjian jual-beli dengan karakteristik yang berbeda dengan model
transaksi jual-beli konvensional, apalagi dengan daya jangkau yang tidak
hanya lokal tapi juga bersifat global. Apakah kemudian ketentuan jual-beli
konvensional sebagaimana diatur dalam KUH Perdata secara tepat sesuai dan cukup
untuk adaptif dengan konteks e-commerce atau perlukan membuat regulasi
khusus untuk mengatur e-commerce ?
Mengenai
pertanyaan kapan lahirnya kontrak web atau kontrak on-line yang
sifatnya mengikat serta valid dalam hukum? Sejauh ini dapat dikemukakan dua
pendapat dengan argumentasinya sendiri-sendiri. Pertama, kontrak web
lahir pada saat buyer atau konsumen melakukan klik penerimaan ‘agree’
atau ‘accept’, yang berarti data sudah terkirim dan tidak dapat ditarik
kembali. Ini menandakan telah terjadi kesepakatan antara pihak penjual dan
pembeli. Kedua, kontrak lahir dan mengikat ketika seller atau penjual
menerima pesan order tersebut dan buyer atau konsumen telah menerima acknowledgement
of receipt.
Permasalahan
ketiga adalah masalah kerahasiaan (confideniality/
privacy). Kerahasiaan yang dimaksud di sini meliputi kerahasiaan data atau
informasi dan juga perlindungan terhadap data atau informasi dari akses yang
tidak sah dan tanpa wenang. Untuk e-commerce, masalah kerahasiaan ini
sangat penting karena berhubungan dengan proteksi terhadap data keuangan,
informasi perkembangan produksi, struktur organisasi serta informasi lainnya.
Secara teknis
solusinya dapat berupa penyediaan teknologi dan sistem yang tidak memberikan
peluang kepada orang yang tidak berwenang untuk membuka dan membaca massage.
Masalah keempat adalah masalah keamanan
(security). Masalah keamanan ini tidak kalah penting karena dapat
menciptakan rasa percaya bagi para pengguna dan pelaku bisnis untuk tetap
menggunakan media elektronik untuk kepentingan bisnisnya. Masalah keamanan yang
timbul biasanya karena kerusakan (error) pada sistem atau data yang
dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab.
Masalah
terakhir yang sering timbul adalah masalah availabilitas atau ketersediaan
data. Masalah ini penting sehubungan dengan keberadaan informasi yang dibuat
dan ditransmisikan secara elektronik harus tersedia bila dibutuhkan. Dengan
ini, untuk menjaga kepercayaan (trust) dan itikad baik (good faith),
harus dibuat suatu sistem pengamanan yang dapat memproteksi dan mencegah
terjadinya kesalahan atau hambatan baik kesalahan teknis, kesalahan pada
jaringan dan kesalahan profesional.
H.
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Salah
satu kelebihan atau keuntungan dalam e-commerce adalah informasi yang
beragam dan mendetail yang dapat diperoleh konsumen dibandingkan dengan
perdagangan konvensional tanpa harus bersusah payah pergi ke banyak tempat.
Melalui internet misalnya konsumen dapat memperoleh aneka informasi
barang dan jasa dari berbagai situs yang beriklan dalam berbagai variasi merek
lengkap dengan spesifikasi harga, cara pembayaran, cara pengiriman, bahkan
fasilitas pelayanan track and trace yang memungkinkan konsumen melacak tahap
pengiriman barang yang dipesannya.
Namun
demikian, e-commerce juga memiliki kelemahan. Metode transaksi
elektronik yang tidak mempertemukan pelaku usaha dan konsumen secara
langsung serta tidak dapatnya konsumen melihat secara langsung barang
yang dipesan berpotensi menimbulkan permasalahan yang merugikan konsumen.
Salah
satu contoh adalah ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang
dijanjikan, ketidaktepatan waktu pengiriman barang atau ketidakamanan
transaksi. Faktor keamanan transaksi seperti keamanan metode pembayaran
merupakan salah satu hal urgen bagi konsumen. Masalah ini penting sekali
diperhatikan karena terbukti mulai bermunculan kasus-kasus dalam e-commerce
yang berkaitan dengan keamanan transaksi, mulai dari pembajakan
kartu kredit, stock exchange fraud, banking fraud, akses ilegal
ke sistem informasi (hacking) perusakan web site sampai dengan
pencurian data.
Beragam
kasus yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan transaksi terutama faktor
keamanan dalam e-commerce ini tentu sangat merugikan
konsumen. Padahal jaminan keamanan transaksi e-commerce sangat
diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen penggunanya. Pengabaian
terhadap hal tersebut akan mengakibatkan pergeseran terhadap falsafah
efisiensi yang terkandung dalam transaksi e-commerce menuju ke arah
ketidakpastian yang nantinya akan menghambat upaya pengembangan pranata e-commerce.
Kondisi
yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan
konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta
semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang
dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen, namun di sisi
lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan
pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada
posisi yang lemah.
Tujuan
perlindungan konsumen sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Perlindungan konsumen ini adalah untuk
1) meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2) mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa;
3) meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen;
4) menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5) menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; serta
6) meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
Di bawah ini
akan diuraikan mengenai pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan
perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce.
1. Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam
Transaksi E-Commerce dalam tataran Internasional
Liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi di
mana semua barang dan jasa yang berasal dari negara lain bisa masuk Indonesia
termasuk dengan menggunakan electronic commerce. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization atau
persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO). Namun masuknya
barang dan jasa impor tersebut bukannya tanpa masalah, di mana salah satu
permasalahan yang timbul adalah masalah perlindungan konsumen. Demikian pula
dalam hal pengaturan hukum mengenai hal ini.
Sehubungan
dengan permasalahan pengaturan hukum dalam transaksi e-commerce, David
Harland mengemukakan bahwa :
“One
consequence of the globalization of trade is a lissening of the significance of
national laws affecting such trade. …. the non-territorial and intangible
nature of electronic commerce calls into question the adequacy of existing law
enforcement mechanism that are still geared to tangible products and national
legislation.”
Khusus untuk perlindungan konsumen dalam tataran
internasional telah diterima The United Nation Guidelines for Consumer
Protection yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
melalui Resolusi No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 dengan memberikan
penekanan terhadap pemahaman umum dan luas mengenai konsumen serta perangkat
perlindungan konsumen yang asasi dan adil untuk mencegah praktek perdagangan
yang merugikan konsumen, persaingan yang tidak sehat serta perbuatan-perbuatan
yang tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan.26 Resolusi ini
merekomendasi pula tentang perlunya memberikan perlindungan terhadap
konsumen melalui suatu undang-undang yang bersifat nasional serta kerjasama
internasional dalam rangka pertukaran informasi mengenai produk-produk terutama
produk-produk yang berbahaya atau dilarang.
Walaupun tidak secara khusus dibuat untuk memberikan
perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce, seperti telah
disebutkan di atas, PBB tepatnya komisi yang menangani Hukum Perdagangan
Internasional telah menyetujui UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce
dengan resolusi 51/162 sebagai mandat untuk kemajuan terhadap harmonisasi dan
unifikasi hukum perdagangan internasional demi kepentingan semua pihak, terutama
pihak-pihak dalam negara-negara berkembang. Selain itu disebutkan dalam
konsideran UNCITRAL ini bahwa hal ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap paper-based
methods of communication dan storage of information yang selama ini
digunakan sebagai dasar dalam membuat suatu perjanjian.
Selain itu dalam konsideran UNCITRAL Model Law on
Electronic Commerce juga dikatakan bahwa resolusi ini diharapkan dapat
diterima secara umum oleh negara-negara dengan latar belakang hukum, sosial dan
sistem ekonomi yang berbeda sehingga dapat secara signifikan menyumbangkan
keharmonisan hubungan ekonomi internasional dan dapat diadopsi oleh
negara-negara serta mengembangkan dan merevisi perundang-undangan nasionalnya
aturan tentang alternatif penggunaan paper-based methods of communication
dan storage of information.
Dalam Chapter II mengenai Aplication of Legal
Requirement to data Massage UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce artikel
5 disebutkan bahwa informasi (dalam hal ini informasi elektronik) yang
disajikan dalam data massage tidak akan dikesampingkan baik itu menyangkut
aspek hukum, pelaksanaan maupun validitasnya. Selanjutnya dalam chapter
tersebut diatur pula ketentuan mengenai tulisan (writing) yang
menyatakan bahwa ketika hukum menghendaki informasi tertulis, maka kewajiban
tersebut dapat ditemukan dalam data massage sebagai bahan referensi.
Selanjutnya diatur mengenai keabsahan tanda tangan elektronik (signature),
Ketentuan origin yaitu mengenai integritas dari informasi pada saat pertama
kali dibuat dan ditayangkan dalam data masage, ketentuan mengenai data
massage sebagai alat bukti (evidence), serta penyimpanan (retention)
dari data massage.
Dalam Chapter III UNCITRAL Model Law on Electronic
Commerce diatur pula mengenai formasi serta validitas dari kontrak (formation
and validity of contracts), pengakuan dari para pihak mengenai isi dari data
massage (recognition by parties of data massage), atribusi dari data
massage, pengekuan terhadap cara pembayaran atau kuitansi (acknowledgement
of receipt) juga waktu dan tempat serta penerimaan waktu pembayaran yang
diperoleh dari data massage (time and place dispatch and receipt of
data massage).
UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce
memang secara spesifik bukan dipersiapkan untuk mengatur mengenai perlidungan
konsumen khususnya perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce,
sehingga OECD dalam Conference on A Global Marketplace for Consumer pada
tahun 1994 menyepakati perlunya International Code of Conduct for Sellers
dalam pasar global
2. Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam
Transaksi E-Commerce dalam tataran Nasional
Walaupun Indonesia sudah meratifikasi pengesahan
tentang pembentukan WTO, namun sampai saat ini perangkat yang dibutuhkan untuk
itu belum cukup memadai. Setelah meratifikasi Pengesahan pembentukan WTO
tersebut memang terlihat ada kemajuan yang cukup berarti dalam hal dibuatnya
legislasi sebagai pendukung serta perangkat menuju era perdagangan bebas.
Indonesia telah memiliki UU yang memberikan
perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual seperti hak Cipta, Paten dan
Merk termasuk mengesahkan UU tentang Perlindungan Konsumen. Dalam tataran
nasional usaha untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen memang
dinyatakan dengan diberlakukannya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Dalam salah satu butir konsiderannya dinyatakan bahwa
usaha perlindungan terhadap konsumen dilakukan karena adanya ekspansi dunia
usaha yang mengglobal. Disebutkan dalam konsideran menimbang butir 3 bahwa
semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi
ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta
kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang
diperolehnya di pasar.
Selanjutnya dalam Penjelasan UU tersebut dijelaskan
bahwa fenomena globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan
teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus
transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga
barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri
maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai
manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih
aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan
kemampuan konsumen, namun di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas
dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang
dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas
bisnis oleh pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui
kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan
konsumen.
Perlu pula ditegaskan bahwa faktor utama yang menjadi
kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah,
yang terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu,
Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum untuk
melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur
pula hak dan kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan yang
bertujuan untuk memberi perlindungan terhadap konsumen dan telah pula mengatur
mengenai hak dan kewajiban konsumen. Namun khusus untuk perlindungan hak
konsumen dalam transaksi e-commerce masih rentan, karena walaupun
Undang-undang Perlindungan Konsumen telah mengatur hak dan kewajiban bagi
produsen dan konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan dalam transaksi e-commerce.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa
ternyata belum diikuti dengan kemajuan perangkat hukum yang ada.
Beberapa hak konsumen yang diatur dalam UU
perlindungan konsumen adalah : 1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2) hak untuk memilih serta
mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan; 3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur; 4)
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya; 5) hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut; 6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8)
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
Namun selain haknya sebagaimana disebut di atas,
konsumen juga memiliki beberapa kewajiban, dalam hal ini supaya konsumen tidak
mendapatkan kerugian karena ketidak hati-hatiannya sendiri. Kewajiban tersebut
diantaranya adalah : 1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3)
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4) mengikuti upaya
penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Selain hak dan kewajiban konsumen seperti tersebut di
atas, Pelaku Usaha memiliki pula beberapa hak dan kewajiban sebagai pemenuhan
hak terhadap konsumen tersebut. Selain memiliki hak dan kewajiban ada beberapa
pelarangan terhadap Pelaku Usaha yang apabila dilanggar, dapat mengakibatkan
Pelaku Usaha terkena sanksi baik sanksi administratif, sanksi pidna maupun ganti
kerugian secara perdata.
Dalam rangka perlindungan terhadap konsumen, dapat
dilihat pula bahwa UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selain
memberikan sanksi administratif terhadap pelaku usaha bila melakukan
perbuatan-perbuatan tertentu sebagaimana diatur dalam UU, juga melakukan
kriminalisasi terhadap beberapa perbuatan sebagaimana diatur dalam UU
Perlidungan Konsumen tersebut. Ketentuan pidana yang dapat diberikan adalah
pidana penjara dan juga denda sampai dengan jumlah maksimal sebesar Rp.
2.000.000.000,-(dua milyar Rupiah).
Selain pengaturan dalam UU Perlindungan Konsumen,
sebenarnya dalam tataran tertentu untuk melindungi konsumen dapat pula
digunakan hukum pidana dalam hal ini KUHP. Sungguhpun demikian, sehubungan
dengan hal tersebut, Romli Atmasasmita sebagaimana disitasi oleh Yusif Shofie,
mengemukakan bahwa bentuk tindak pidana dalam era perdagangan bebas tidak cukup
dapat diantisipasi dengan ketentuan mengenai tindak pidana ‘perbuatan curang’
sebagaimana diatur dalam Pasal 378 sampai 395 KUHP, tetapi seharusnya diatur
dalam ketentuan baru yang lebih komprehensif. Selanjutnya mengenai hal ini
Romli Artmasasmita mengemukakan bahwa : sanksi pidana dalam konteks dunia
perdagangan dan bisnis hanya merupakan salah satu upaya untuk memperkuat
harmonisasi hubungan antara para pihak yang terlibat, bukan sarana hukum yang
dapat memperbaiki hubungan para pihak yang telah terganggu. Penggunaan dan
harapan yang terlalu berlebihan pada kekuatan sanksi pidana dalam konteks dunia
perdagangan dan bisnis hanya akan mempertaruhkan masa depan dunia usaha ke
dalam jurang kehancuran, dan tidak memperkuat segenap segmen kehidupan dunia
bisnis dan perdagangan.
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka sudah
sangat jelas bahwa demi kebutuhan perlindungan terhadap konsumen terutama
konsumen yang melakukan transaksi bisnis dengan menggunakan teknologi
elektronik (e-commerce), maka urgensi untuk membuat legislasi yang
mengatur mengenai hal ini sudah sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena
peraturan perundang-undangan yang ada terutama undang-undang yang mengatur
mengenai perlindungan konsumen belum mengakomodasi kebutuhan tersebut.
Karakteristik
yang berbeda dalam sistem perdagangan melalui teknologi elektronik tidak tercover
dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Untuk itu perlu dibuat peraturan
hukum mengenai cyberlaw termasuk didalamnya tentang e-commerce
agar hak-hak konsumen sebagai pengguna teknologi elektronik dalam proses
perdagangan khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat
terjamin.
DAFTAR
PUSTAKA
http://fauzanbektinugroho.files.wordpress.com/2010/03/makalah-digital-signature.pdf
http://abstrak.digilib.upi.edu/Direktori/SKRIPSI/FPMIPA/ILMU_KOMPUTER/Skripsi_Ilkom_yang_di_satu_file_kan/057034_IMPLEMENTASI_DIGITAL_SIGNATURE_PADA_TRANSAKSI_DIGITAL_CASH_MENGGUNAKAN_ALGORITMA_RSA/skripsi_digital_signature_with_RSA_Algorithm%5B057034%5D.pdf
http://kunangkuadrat.wordpress.com/2009/10/28/digital-signature-sebagai-bagian-dari-keamanan-jaringan/
http://horol.blogspot.com/2012/10/digital-signature_10.html
http://kunangkuadrat.wordpress.com/2009/10/28/digital-signature-sebagai-bagian-dari-keamanan-jaringan/
Emilda Kuspraningrum, 2011,
Keabsahan Kontrak Elektronik dalam UU ITE Ditinjau dari pasal 1320 KUHPerdata
dan UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, Risalah HUKUM Fakultas Hukum
Unmul
Gautama,
Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung : Eresco,
1986.
Magfirah,
Esther Dwi, Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce, dalam http://www.solusihukum.com/artikel/artikel31.php, 2004.
Sanusi, M.
Arsyad, E-Commerce : Hukum dan Solusinya, Bandung : PT. Mizan Grafika
Sarana, 2001.
Sitompul,
Asril, Hukum Internet : Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di
Cyberspace, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004
Shofie,
Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Cetakan
Kedua, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.
Subekti, Aneka
Perjanjian, Cetakan Kesembilan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992.
Subekti dan
R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk
Wetboek, Edisi Revisi : Cetakan ke-29, Jakarta : Pradnya Paramita,
1999
UNCITRAL Model
Law on Electronic Commerce, diadopsi oleh the United Nations Commission
on International Trade Law, Resolution 51/162 of December 16,
1996
Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Thanks infox bro. Tak tunggu presentasix y
BalasHapusOK
Hapus